Senin, 27 Februari 2012

WHAT HAPPEN ABOUT PACARAN...????

Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau Al-Jauziyyah) sungguh menakjubkan. Inilah yang kami rasakan ketika membaca buku terjemahan kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006).
Bagaimana tidak menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang yang jatuh cinta ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29 dst.). Hal-hal semacam ini jarang kami temui di buku-buku percintaan yang pernah kami baca.
Memang, sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada Allah” dan “cinta karena Allah” (hlm. 550). Namun, beliau ternyata juga membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan” (hlm. 607-665).
Di situ, kami jumpai istilah “pacaran” muncul tujuh kali, yaitu di halaman 617, 621 (lima kali), dan 658. Adapun istilah-istilah lain yang menunjukkan keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650), “gayung bersambut” (hlm. 613), “saling mengutarakan rasa cinta” (hlm. 620-621), “mengapeli” (hlm. 642-643), “berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya, kami jumpai ada sembilan contoh praktek pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, kami berusaha mengenali ciri khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin. Ini dia tujuh diantaranya:
  1. mengutamakan akhirat
  2. mencintai karena Allah
  3. membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
  4. menyimak kata-kata yang makruf
  5. tidak menyentuh sang pacar
  6. menjaga pandangan
  7. seperti berpuasa
1) MENGUTAMAKAN AKHIRAT
Pada dua contoh, pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67, “Teman-teman akrab pada hari [kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang islam itu lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam kenikmatan ini bertentangan).
Adapun pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12) menyatakan, “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya keleluasaan di hari kemudian.” (hlm. 918)
2) MENCINTAI KARENA ALLAH
Pada suatu contoh, diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun berbuat yang baik.” (hlm. 656)
Syair tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya” (hlm. 550). Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?
Lantas, apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:
Yang dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)
3) MEMBUTUHKAN PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN
Pada suatu contoh, pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).
Pada satu contoh lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka, saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun yang dilakukannya di kalangan mereka” (hlm. 621).
4) MENYIMAK KATA-KATA YANG MAKRUF
Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair, maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair untuknya.” (hlm. 620)
Pada enam contoh, para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing melalui bait-bait syair yang indah dan menarik” (hlm. 620-621).
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.” (hlm. 628)
5) TIDAK MENYENTUH SANG PACAR
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu” (hlm. 628).
Pada dua contoh, pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. (hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya, pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias bersetubuh” (hlm. 621).
6) MENJAGA PANDANGAN
Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus (hlm. 617) yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat” kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan” (hlm. 241).
7) SEPERTI BERPUASA
Ibnu Qayyim menyimpulkan:
Demikianlah kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang mendorong mereka untuk memelihara kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa, kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)
Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini, seperti orang yang berpuasa dan menahan diri darinya buat nanti pada hari berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia bersua dengan Allah SWT. (hlm. 650-651)
Begitulah tujuh ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan kami. Bagaimana dengan Anda? Tolonglah beritahu kami apa saja ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan Anda!

PENGERTIAN HADITS DAN UNSUR-UNSURNYA....

A.    Pendahuluan
Hadits adalah sesuatu yang datang dari Rasululllah baik perkataan, perbuatan, ataupun taqrirnya. Hadits mempunyai beberapa sinonim yang menurut ulama’ hadits tidak ada perbedaan antara hadits dan sinonimnya. Tetapi lain halnya dengan ulama fikih dan ushul fikh yang memandang bahwasanya hadits dan sinonimnya mempunyai perbedaan. Hadits juga mempunya beberapa unsur yaitu sanad, matan, dan rawi.
B.     Pengertian Hadits
Secara etimologis hadits berarti baru, perkataan, cerita atau berita.[1] Sedangkan Dari segi terminologi, banyak ahli hadits (muhadditsin) memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama di antaranya Mahmud Ath-Thahan (guru besar Hadits di Fakultas Syari’ah dan Dirosah Islamiah di Universitas Kuwait) mendefinisikan: hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.[2]
Dalam beberapa buku para ulama berbeda dalam mengungkapkan datangnya Hadits tersebut, di antara ada yang seperti di atas ”sesuatau yang datang” ada juga yang menggunakan beberapa redaksi seperti: sesuatu yang disandarkan, sesuatu yang dibangsakan, dan sesuatu yang diriwayatkan. Keempat redaksi ini dimaksudkan sama maknanya, yakni sesuatu yang datang atau sesuatu yang bersumberkan dari Nabi atau disandarkan kepada Nabi. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa Hadits merupakan sumber berita yang datang dari Nabi dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan.[3] Definisi di atas memberikan kesimpulan, bahwa Hadits mempunyai tiga macam yakni:
1.      Hadits Qawliyah yaitu Hadits Nabi yang hanya berupa perkataannya saja baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan. Yang disebut pernyataan Nabi disini adalah sabda Nabi dalam merespon keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk lain seperti khutbah.[4]
2.      Hadits Fi’liyah yaitu Hadits Nabi yang berupa  perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan haji, manasik haji dan lain-lain.[5]
3.      Hadits Taqririyah, yaitu Hadits Nabi yang berupa penetapan Nabi terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi tidak menegurnya atau melarangnya bahkan Nabi cenderung mendiamkannya.[6]
C.     Sinonim Hadits Dan Pengertiannya
Adapun sinonim dari Hadits adalah: As-Sunah, Al-Khabar, dan Al-Atsar dengan pengertian sebagai berikut:
1.      As-Sunah
Sunah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh, adat istiadat, suatu kebiasaan, dan cara yang diadakan.[7] Makna sunah yang lain adalah tradisi yang kontinu (berkelanjutan).[8] Sedangkan sunah menurut istilah terdapat beberapa perbedaan di kalangan ulama’, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Menurut ulama’ ahli Hadits (muhadditsin), sunah sama dengan hadits. Diantara ulama ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat yaitu segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.[9]
b.      Menurut ulama’ Ushul Fikih adalah sesuatu yang yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan berupa Al-Quran yang berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’.[10]
Sunah menurut ulama ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dikatakan sunah.
c.       Menurut ulama Fikih adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka sunah menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disisksa bagi yang meninggalkan.[11]
Menurut ulama Fikih, sunah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang megerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya: shalat sunah, puasa sunah, dan lain-lain.
2.      Al-Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas sesuatu. Al-Zarkasyi mengartikan Al-Atsar sebagai sesuatu yang disandarkan kepada sahabat semata. Dengan demikian atsar tidak mempunyai hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan Nabi.[12] Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar adalah sinonim dari hadits. Kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama’ mendefinisikan: sesuatu yang datang dari selain Nabi yaitu dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.[13]
3.      Al-Khabar
Menurut bahasa khabar adalah berita, pemberitahuan, laporan, ha mengenai peristiwa, kejadian, dan keadaan.[14] Sedangkan dari segi istilah khabar berarti sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in.[15] dengan demikian sumber atau sandaran dari Al-Khabar dapat dari bebagai macam atau beberapa orang termasuk Nabi, seperti sahabat dan tabi’in.
Mayoritas ulama melihat Hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sesuatu yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita umat terdahulu, para Nabi, dan lain-lain. Misalnya Nabi Isa berkata:…, Nabi Ibrahim berkata:… dan lain-lain, termasuk khabar bukan hadits.
D.    Perbedaan Hadits dengan sinonimnya
Ulama’hadits menyatakan bahwasanya hadits, sunah, atsar dan khabar adalah berarti sama dan mereka tidak memandang ada perbedaan antara hadits dan sinonimnya sedangkan Ulama Fikih dan Ulama Ushul Fikih memandang bahwa hadits dan sinonimnya mempunyai beberapa perbedaan antara lain:
1.      hadits sandarannya Nabi, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan, perbuatan dan persetujuan dan sifatnya khusus sekalipun dilakukan Cuma satu kali;
2.      sunah sandarannya Nabi dan sahabat, aspek dan spesifikasinya hanya pada perbuatan saja dan sifatnya menjadi tradisi;
3.      khabar sandaranya Nabi dan selainnya, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan oerbuatan dan bersifat lebih umum; dan
4.      atsar sandarannya sahabat dan abi’in, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan perbuatan dan bersifat umum.
E.     Unsur-Unsur Hadits
Adapun unsur-unsur hadits adalah sebagai berikut:
1.      Sanad
Menurut bahasa sanad adalah sandaran, hubungan atau rangkaian perkara yang dapat dipercaya, dan rentetan rawi hadits sampai pada Nabi Muhammad.[16] Sedangkan menurut istilah adalah mata rantai para perawi hadits yang menghubungkan sampai kepada perawi hadits.[17]

2.      Matan
Kata matan menurut bahasa berarti keras, kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya tulis ada matan dan ada syarah. Matan di sini diartikan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Sedangkan syarahnya dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad. Definisi lain menyebutkan matan adalah beberapa lafal hadits yang membentuk beberapa makna.[18]
Berbagai redaksi definisi matan yang diberikan ulama’, tetapi intinya sma yaitu materi atau berita hadits itu sendiri yang datang dari Nabi. Matan hadits ini sangat penting karena yang menjadi topik kajian dan kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.
         Contoh:
            اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَلْمَسْنُهُمْ خُلُقَ
3.      Rawi
Kata rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayah yang berarti memindahkan dan menukilkan. Yakni memindahkan atau menukilkan suatu berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam istilah Ar-rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang menyampaikan periwayatan hadits dari seorang guru kepada orang lain yang terhimpun kedalam buku hadits.[19] Untuk menyatakan perawi hadits dikatakan dengan kata “hadits diriwayatkan oleh”.
Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadits pada setiap generasi terdiri dari perawi. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan meriwayatkan atau memindahkan hadits dari seorang guru kepada muridnya atau teman-temannya.
F.      Kesimpulan
Ringkasnya pengertian Hadits adalah Sesuatu yang datangnya dari Nabi Muhammad SAW. baik itu perbuatan, perkataan, ataupun persetujuan Nabi. Sedangkan ada beberapa istilah yang merupakan sinonim dari Hadits yaitu ; As-Sunnah, Atsar, dan Al-Khabar, yang penjelasannya telah disebutkan di depan.
Adapun unsur-unsur penyusun Hadits ada tiga yaitu ; Sanad, Matan, Rawi, dan penjelasannyapun juga telah disebutkan diatas, yang ringkasnya Sanad adalah orang yang meriwayatkan hadits yang sampai pada Rasululah SAW. sedangkan Matan adalah isi hadits atau dengan bahasa lain bisa disebut dengan Dawuhnya Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh beberapa sanad (orang), dan adapun Rawi adalah orang yang terakhir dalam periwayatan Hadits dan menulisnya sehingga sampai kepada kita.    


DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Ramdani, Sofiah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, tt.
Tim Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya: Sunan Ampel Pers, 2010.



[1] Tim Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam (Surabaya: Sunan Ampel Pers, 2010), 50.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 2.
[3] Ibid, 3.
[4]Tim  IAIN, PSI, 52.
[5] Ibid.
[6] Ibid, 53
[7] Ibid, 50.
[8] Majid, Hadits, 5.
[9] Ibid, 6.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Tim  IAIN, PSI, 51.
[13] Majid, Hadits, 10.
[14] Sofiah Ramdani, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, tt)
[15] Tim  IAIN, PSI, 51.
[16] Ramdani, kamus, 489.
[17] Majid, Hadits, 97.
[18] Ibid, 103.
[19] Ibid, 105.

SIAPAKAH AL HALLAJ ITU?

Pada abad ketiga Hijriyah, dunia tashawwuf pernah digemparkan oleh seorang tokoh yang bernama Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Hallaj, yang lebih dikenal dengan Al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thursalah satu desa didekat Baidah di Persia.
Neneknya Muhammad adalah seorang penyembah api dan pemeluk agama Persi sebelum ia masuk Islam. Sejak kecil Al-Halaj sudah bergaul dengan orang-orang shufi ternama. Pada waktu ia berumur enam belas tahun ia pernah berguru pada Sahl bin Abdullah At-Tustari, salah seorang tokoh shufi ternama dalam abad ketiga itu.
Ia juga pernah berhubungan dengan Junaidi Al-Baghdadi, namun tidak berapa lama, karena ia naik haji yang pertama kali ke Makkah. Di Makkah ia banyak melakukan khalwat baik dalam Masjidil Haram maupun diluarnya. Diceritakan oleh Nahrujuri, bahwa Al-Hallaj pernah berkhalwat didalam masjid Makkah, dalam keadaan duduk tidak bergerak-gerak, kecuali untuk keperluan bersuci dan thawaf, sehingga ia tidak memperdulikan serangan hujan dan panas matahari. Sebagaimana makanan ia hanya menggigit tiga kali roti kering, dengan dua teguk air minum yang dingin, seteguk sebelum dan seteguk sesudah makan. Kemudian roti kering itu diletakkan diatas kendi airnya dan dia duduk kembali dalam keadaan melakukan latihan shufi.
Sesudah setahun di Makkah, Al-Hallaj pernah pulang ke Baghdad dan menemui gurunya Junaid yang kedua kali. Pertemuan ini tidak membawa kegembiraan antara murid dan gurunya, beberapa perbedaan mengenai ittihad dan hulul antara manusia dengan Tuhan, menyebabkan kecintaan antara guru dan murid ini agak renggang. Tetapi Al-Hallaj sejak itu merupakan tokoh shufi yang luar biasa, yang disegani dan mendapat pengikut yang banyak.
Pernah dalam hidupnya ia memutuskan hubungan dengan guru-guru dan pergaulan shufi di Baghdad, lalu bertolak mengembara jauh ke Timur sampai ke Khurasan, Talikan, Ahwaz, Parsi, India (Gujarat) dan Turkistan, terutama sebagai muballigh dari golongan Qarmatiyah. Beberapa orang yang agak kurang menyenangi dia, menyulam kabar yang agak berlebih-lebihan tentang kepergiannya ke timur itu, misalnya katanya untuk mengambil sari-sari aliran dari agama Hindu guna dimasukkan kedalam ajarannya. Al-Hasib menerangkan, bahwa ayahnya pernah bertemu dengan Hussain Ibnu Manshur, yang lemah lembut kelakuannya dan cara bergaul. Tatkala ia bertanya kepada Husain Ibnu Manshur (Al-Hallaj) itu, apa keperluan datang didaerah timur, Al-Hallaj menjawab, akan mempelajari ilmu sihir dan mengajak manusia percaya kepada Tuhan. Al-Muzaiyin menerangkan semacam itu juga.
Tetapi bagaimanapun juga, sejak tahun 908 M ia kembali dari Makkah ke Baghdad, Al-Hallaj sudah masyhur sebagai tokoh shufi dan ulama terbesar, dengan pengikutnya yang semakin hari semakin banyak. Tidak saja ucapan-ucapannya sangat diperhatikan orang, tetapi dua kali ia pernah ditahan polisi kerajaan Abasiyah, dan atas perintah Perdana Menteri Ibnu Isa tahun 913, Al-Hallaj pernah dipenjara selama delapan tahun.
Diantara masalah-masalahnya yang sangat menggemparkan itu ialah mengenai suatu pokok pembicaraan yang memang sukar dan pelik dalam dunia tashawwuf Islam ketika itu. Al-Hallaj membenarkan bahwa manusia yang sudah bersih, roh nathiqoh, sungguh-sungguh dapat bersatu dengan roh tuhan, ainul jama’, sesudah berlakunya hulul lahut fi nasut, begitu juga ia menetapkan seorang wali dapat bersatu dengan tuhan, sehingga wali itulah Tuhan, dan Tuhan itulah wali, huwa-huwa, yaitu tatkala orang shufi itu fana’ dan mengucapkan : “Ana Al-Haq”. “Sayalah Haq yang menciptakan itu”. (Thawasin).
Dengan adanya pendirian ini maka pecahlah orang-orang shufi itu atas dua golongan, perpecahan baru dalam pandangan Tashawwuf, yang dinamakan golongan ahli Sunnah dan golongan Ahli Bid’ah, Syu’batus Sunniyin dan Syu’batul Mubtadi’in atau dinamakan juga golongan waspada dan golongan bebas, Syu’batul Muhafidzin dan Syu’’batul Ahrar.
Aliran faham sunni, sebagaimana yang dianut oleh golongan Al-Asy’ari itu, merupakan aliran yang berkuasa ketika itu. Golongan ini menentang faham-faham yang terdapat dalam ajaran Al-Hallaj. Tidak saja mengenai Ittihad, mengenai teori Nur Muhammad, yang melahirkan segala yang maujud dan Nabi-nabi dari dahulu kala dan menyambung pada jiwa Ali bin Abi Thalib, yang menurut pendapat mereka dapat membawa kepada kufur dan syirik, pandangannya kepada semua agama, yang dikatakan Al-Hallaj pada hakikatnya hanya satu juga dalam kebenaran Tuhan, masalah Al-Hallaj menghilangkan wajib haji dianggap persoalan-persoalan yang dapat merusakkan agama Islam, tetapi juga banyak tuduhan-tuduhan mengenai iman dan Islam sebagaimana yang diajarkan Al-Hallaj kepada murid-muridnya, membuat pemerintah mengambil tindakan keras terhadap Al-Hallaj. Musuh-musuhnya menambah keterangan-keterangan yang memberatkan dia, sehingga pada akhirnya ia dianggap sesat dan sesudah bertahun-tahun dipenjarakan, dalam tahun 922 M dihukum mati.
Sebelum dipancung ia disula diperlihatkan pada umum. Pada waktu hendak dipancung ditempat penyulaannya, kelihatan benar imannya yang kokoh terhadap Tuhan, kelihatan benar keyakinannya yang membatu terhadap ajarannya. Tatkala pedang diletakkan kemukanya dan darah mengalir, seorang muridnya ditengah-tengah orang banyak berteriak mengatakan mukanya berdarah, tetapi ia menjawab, itu bukan darah tapi air wudhu, tangan dan kaki kanannya dipotong, ia tenang dan shabar, tidak mengeluh dan mengadu sepatah katapun. Sampai keempat-empat anggota badannya diceraikan, tak ada sepatah kata kesakitan pun keluar dari mulutnya. Kemudian barulah kepala ditundukkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan, yang pada akhirnya dipisahkan dari badannya oleh Algojo kerajaan yang menjalankan hukuman mati atas dirinya!
Badannya dibakar dan abunya dilemparkan kedalam sungai Dajlah. Hilang Al-Hallaj dari Baghdad dan lenyap jasadnya dari muka bumi! Tetapi apakah Al-Hallaj karena itu sudah mati! Tidak! Ia hidup, ia mulai hidup, karena itu baginya permulaan hidup!
Ketenangan dalam penyiksaan itu menjadi bukti keyakinannya yang menakjubkan lawan dan kawannya. Penyiksaan yang demikian dari satu pihak menimbulkan penyesalan, dari lain pihak mengeluarkan cinta dan kasih sayang, dan cinta dan kasih sayang itu membuat murid-muridnya lebih giat dan luas menyiarkan paham-paham Al-Hallaj itu, sehingga di kemudian hari masuklah paham-paham itu kedalam kitab-kitab shufi.
Maka tersiarlah kabar, bahwa Al-Hallaj adalah seorang suci, seorang keramat dan wali. Bermacam-macam dongeng dijalin orang dengan sejarah kematiannya. Ada yang mengatakan, darahnya itu mengalir membentuk kalimat Allah. Dalam Tarikh Baghdad, jilid VIII, hal 136, masih tercatat, bahwa pada sepotong kayu yang terdapat padanya tertulis lafadh Allah dan didalam kayu itu termaktub nama Ali Alaihis Salam.
Cerita yang mengerikan itu berjalan dari masa kemasa, dari daerah ke daerah, dari mulut ke mulut, dan menjadi buah mimpi mereka yang menganut paham Wihdatul Wujud dan mengaku dirinya wali. Cerita Syekh Lemah Abang di Jawa dan Hamzah Fansuri atau Teungku Trubu’ied di Aceh, yang juga sesudah dibunuh karena tuduhan salah I’tikadnya, darahnya berdzikir atau menulisi kalimat syahadat, tidak lain daripada gemah cerita Al-Hallaj yang sudah mati itu.
Menurut Suhrawardi, Al-Hallaj sudah menggambarkan pembunuhan atas dirinya semasa hidupnya. Dalam hubungan ajarannya, mengenai reinkarnasi, hidup kedua kali di dunia, yang dijadikan orang bukti Al-Hallaj memasukkan ajaran itu dari agama Hindu, ahli Hulul terbesar itu pernah bersyair sebagai berikut :
“Bunuhlah daku, o kebenaranku,
Dalam matiku disitulah hidupku,
Matiku berada dalam hidupku,
Hidupku terdapat dalam matiku!
Pada kesempatan yang lain ia bersya’ir :
“Biarkan badan hancur binasa,
Asal cahaya menerangi angkasa,
Jiwa yang sempurna jiwa perkasa,
Kepada Tuhan kembali rasa.
Ia kembali kepada yang punya,
Disitulah ia kekal adanya,
Kerangka jasad biarkan di dunia,
Usah dihiraukan, tak usah ditanya!
Kematian Al-Hallaj membuat tokoh shufi yang lain jadi takut menyatakan secara terang-terangan ajarannya, mengenaiWihdatul Wujud, mengenai Ittihad, mengenai cinta Tuhan melalui hulul, dengan mas’alah ucapan “Ana Al-Haq’-Akulah kebenaran!”. Lalu majulah kemuka umum Junaid dan Usman Al-Makky dengan kupasannya seolah-olah menentang Al-Hallaj. Menurut Ahmad bin Yunus, Junaid pernah mengejek Al-Hallaj dalam satu pertemuan terhormat dari ulama’-ulama’ shufi, dan menuduhnya memakai ilmu sihir, yang dipelajarinya tatkala ia pergi kedaerah timur. Tetapi menurut Ibnu Khafif ejekannya itu bahkan menimbulkan jijik beberapa orang besar shufi terhadap Junaid.
Memang sesudah penyulaan, banyak yang menampik paham Al-Hallaj, tetapi banyak pula yang menerimanya dan menyiarkannya kedalam bentuk lain, diantaranya Abul Abbas bin Atha’ Al-Baghdadi, Muhammad bin khafif Asy-Syirazi, Ibrahim bin Muhammad An-Nasarbazi An-Nisaburi, semuanya membenarkannya. Ibnu Khofif menyimpulkan pendapat-pendapat mereka didalam sebuah kalimat : “Hasan bin Manshur (Al-Hallaj) adalah seorang alim Robbani, dan orang yang melenyapkan namanya dalam ilmu shufi, menuduh Al-Hallaj meringankan agamanya, dan menuduh Al-Hallaj zindiq dalam I’tiqatnya” (Tarikh Baghdad)
Diantara tokoh-tokoh shufi terbesar termasuk Al-Hallaj, yang selalu didengar pendapatnya dalam masalah-masalah yang pelik dalam ilmu tashawwuf dan Islam. Al-Wasithi bertanya kepada Ibnu Suraij : “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Hallaj?” Jawabnya : “Ia seorang alim yang hafal Al-Quran, seorang alim tentang ilmu Al-Quran, seorang yang mahir dalam ilmu Fiqh, ahli hadits, sejarah agama dan sunnah nabi” (Akhbar Hallaj). Dalam kitab “Syazrotuz Zahab” diterangkan, bahwa ia ahli kimia dan ilmu tabib. Qusyairi memuji-muji Al-Hallaj dalam risalahnya sebagai seorang shufi terbesar. Puji-pujian itu diikuti oleh yang lain, diantaranya Imam Al-Ghazali. Dr. Zaki Mubarak membela Al-Hallaj dalam kitabnya “At-Tasawwuf Al-Islami” (Mesir, 1938) dan mempersamakannya dengan Isa Al-Masih dalam ta’ayinya zat dan sifat Allah. Dalam kitabnya yang lain menyerang Ghazali dengan Ihyanya, memuji Al-Hallaj dengan katanya : “Kisah Al-Hallaj dengan Tuhannya adalah sebuah kisah yang jarang terdapat contoh teladannya, karena ia mengandung peperangan antara hati dan ketakutan, antara mata dan air mata yang berlinang-linang. Orang dapat mempelajari dalam kitab itu, apa yang sukar dipahami, yaitu bahwa cinta tidak mengenal main-main dan olok-olok. Jikalau penyulaan Al-Hallaj itu terjadi dalam sejarah ribuan tahun, maka kita akan menamakannya suatu dongeng, sebagaimana sebagian orang mengatakan salib Isa itu suatu diantara dongeng pula dalam sejarah dunia. Tetapi penyulaan Al-Hallaj baru terjadi dan khabar beritanya mutawatir, makamnya berdiri di Baghdad dengan megahnya, dikunjungi, diziarahi orang. Akupun menziarahinya dan melihat dengan mata kepala sendiri kubur itu dikunjungi orang, sebagaimana mengunjungi kuburan-kuburan orang lain yang dicintai. Alangkah sukarnya kedudukan orang-orang yang dicintai itu, baik pada waktu hidupnya maupun pada waktu sesudah matinya”. (Hal 218)
Pengarang-pengarang baik ditimur maupun dibarat mencari bahan-bahan pikiran yang ketinggalan dari Al-Hallaj diantara butir-butir darah dan debu pembakaran mayatnya, tetapi tokoh Hulul terbesar ini tidak didapatinya, ia sudah lenyap dalam Wihdatul Wujud, ia sudah fana kedalam baqa’ Tuhannya! (Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

Jumat, 03 Februari 2012

MAKNA DARI SYAHADAT YANG SUDAH ENGKAU UCAPKAN...


PENDAHULUAN

Seharusnya, ketika kita akan memahami arti syahadat, lalu kita sama-sama menjadikan syahadat sebagai titik awal perubahan. Awal perubahan ke arah kebaikan.

Pada masa Rasulullah, di kota Mekah, kehancuran moral terjadi begitu luar biasa. Kehancuran moral mengalami perubahan ketika Islam mulai didakwahkan. Apakah terjadi perubahan yang langsung dan drastis ? Tentu saja tidak.

Bertahap. Sahabat nabi, sampai pada periode Madinah, beberapa diantara mereka masih meminum minuman keras. Tapi yang luar biasa, ketika datang ayat larangan meminum khamar, hari itu juga habis, tidak ada yang meminum khamar lagi. Begitu juga para sahabat perempuan di masa nabi yang tidak mengenakan penutup kepala. Tapi ketika ayat tentang menutup aurat itu turun, hari itu juga, tak ada yang melanggar.

Coba bandingkan dengan kondisi masyarakat kita sekarang. Ayat tentang khamar dan menutup aurat itu sudah turun lebih dari 1.400 tahun yang lalu, tapi masih banyak muslim yang minum khamar dan masih banyak muslimah yang membuka penutup auratnya (belum menutup auratnya). Mengapa demikian ? Karena ketaatan dan kepatuhan kita kepada Allah sangat rendah. Pemahaman syahadatnya rendah dan lemah. Jika demikian, bagaimana syahadat menjadi titik tolak perubahan ?

Pemahaman makna syahadat, semoga mampu mengantar kita pada perubahan yang menuju pada kebaikan. Perbaikan akidah yang mampu menyelamatkan kita dari kerusakan di dunia maupun di akhirat kelak. Apapun kerusakannya, yang pertama kali harus diperbaiki adalah kualitas tauhid seorang manusia.







MAKNA SYAHADAT
Bagi umat Islam, kata Syahadat bukanlah kata yang asing lagi di telinga mereka. Syahadat adalah seperti nafas yang senantiasa menemani hidup mereka. Syahadat adalah salah satu syarat utama keislaman seseorang. Tanpa syahadat dalam hati, pikiran, ucapan, dan tindakan mereka, maka tiada pula islam dalam kehidupan mereka.
Syahadat adalah sebuah perkara vital dalam kehidupan umat islam. Syahadat ibarat ruh, sedangkan islam sendiri ibarat jasadnya. Maka jasad tersebut akan mati jika ruh tersebut tidak ada atau mati. Perkara syahadat adalah sebuah perkara yang menyangkut ketauhidan seseorang. Itulah, mengapa Syahadat ini menjadi salah satu bagian yang primer bagi umat islam.
Syahadat merupakan asas dan dasar bagi rukun Islam lainnya. Syahadat merupakan ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Syahadat juga biasa disebut dengan Syahadatain, yang dalam bahasa Arab berarti dua kalimat syahadat. Penggunaan kata Syahadatain ini juga tentunya berdasarkan isi dari Syahadat itu sendiri yang terdiri atas dua kalimat, yaitu:
  • Kalimat pertama :
Syahadat1.gif
Asyhadu An-Laa Ilaaha Illallaah
artinya : Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah
  • Kalimat kedua :
Syahadat2.gif

wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullâh
artinya: dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah Rasul / utusan Allah.
Di dalam agama islam, kedua kalimat Syahadat tersebut merupakan sebuah rangkaian utuh yang harus diimani secara menyeluruh. Haram bagi umat islam untuk hanya mengimani salah satunya saja. Haram bagi umat islam untuk hanya mengakui Allah saja namun tidak mengakui Rasulullah Muhammad saw, begitu juga sebaliknya. Agar umat islam dapat memaksimalkan kualitas Syahadat dalam kehidupannya, maka terlebih dahulu mereka haruslah mengetahui mengenai makna yang terkandung dalam dua kalimat tersebut.
MAKNA SYAHADAT
Kalimat pertama menunjukkan pengakuan tauhid. Artinya, seorang muslim wajib untuk hanya mempercayai Allâh sebagai satu-satunya Ilah. Dengan mengikrarkan kalimat syahadat yang pertama ini, maka seorang muslim wajib menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, harapan, dan sesembahan. Mereka telah wajib untuk menjalankan segala bentuk peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt, yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya.
Kalimat kedua merupakan bentuk pengakuan seseorang bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasul yang diutus oleh Allah , dan yang menyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada umat manusia. Dengan mengikrarkan kalimat Syahadat yang kedua ini, berarti orang tersebut telah meyakini sepenuhnya kepada Allah swt, dan telah wajib pula baginya untuk meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah ajaran yang bersifat Robbaniyah, yang berasal dari Allah swt. Meyakini dan menjalankan sunnah-sunnah yang telah diajarkan Rasulullah saw, dan tidak meragukan akan kerasulannya, serta meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi, tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
KANDUNGAN KALIMAT SYAHADAT
Syahadat adalah serangkaian ikrar yang terdapat di dalam ajaran islam, yang tentunya terdapat konsekuensi yang harus diterima dan dilaksanakan. Ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka ada kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan yang berupa perintah dan larangan. Untuk memahami semua itu, hendaknya sesorang mengetahui kandungan yang terdapat dalam dua kalimat Syahadat tersebut. Pada dasarnya, dua kalimat Syahadat memiliki kandungan sebagai berikut:
  • Ikrar
Ikrar yaitu suatu pernyataan tegas seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Ketika kita mengucapkan kalimat syahadat, maka kita memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita ikrarkan itu. Jadi ikrar dalam dua kalimat Syahadat bukanlah sebatas dilisan saja, melainkan ada konsekuensi yang harus ia terima dan laksanakan.
  • Sumpah
Makna lain dari Syahadat adalah sumpah. Dalam hal apapun, sumpah bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai permainan belaka atau dianggap sebagai suatu hal yang remeh. Demikian pula halnya ketika seseorang telah bersumpah dengan dua kalimat Syahadat. Jika seseorang telah bersumpah, maka dia bersedia menerima akibat dan resiko apapun untuk menjaga dan menjalankan sumpah tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat berarti ia telah siap untuk turut bertanggung jawab dalam rangka tegaknya agama Allah, yaitu islam.
  • Janji
Syahadat juga bermakna janji. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap muslim adalah orang-orang yang telah berjanji setia kepada Allah dan Rasulullah Muhammad saw untuk menjalankan semua perintah dan menjauhi segala bentuk larangan yang terdapat di dalam Al Quran maupun As Sunnah.
SYARAT-SYARAT SYAHADAT
Satu hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam masalah Syahadat ini adalah Syarat Syahadat. Syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya maka yang disyaratkannya itu tidak sempurna. Jadi jika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadatnya itu tidak sah. Agar Syahadat seseorang dapat menjadi sempurna dan diterima oleh Allah swt, maka syahadat tersebut harus memenuhi ketujuh persyaratan berikut:
  • Pengetahuan
Seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya. Tidak sempurna atau bahkan mungkin tidak akan diterima Syahadat seseorang jika ia tidak memiliki pengetahuan mengenai Syahadat tersebut. Karena, orang yang tidak memiliki pengetahuan mengenai Syahadat tidak akan mengetahui dan tidak akan dapat melaksanakan apa-apa saja yang menjadi tuntutan atau konsekuensi atas Syahadat yang telah ia ucapkan. Dengan kata lain, orang yang bersyahadat juga harus berada dalam keadaan sehat akal dan dalam keadaan sadar.
  • Keyakinan
Seseorang yang bersyahadat mesti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Karena, Syahadat merupakan satu bentuk pengakuan terhadap Allah dan Rasulullah saw. Jika ia ragu akan makna dari Syahadat  tersebut, berarti ia juga telah ragu kepada Allah dan Rasulullah saw, maka batallah Syahadatnya.
  • Keikhlasan
Syarat lain yang harus terdapat dalam Syahadat seseorang adalah adanya rasa ikhlas. Harus sepenuhnya secara ikhlas untuk meyakini ikrar tersebut. Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT.
  • Kejujuran
Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan. Ketiga unsur tersebut harus saling mendukung dengan kuat.
  • Kecintaan
Maksudnya adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Cinta disini bukanlah sebatas menghamba saja, tetapi juga harus terdapat  unsur amarah di dalamnya. Tentunya amarah ini tidak ditujukan kepada Allah atau Rasulullah saw maupun ajarannya, melainkan ditujukan kepada segala sesuatu yang bertentangan dengan makna Syahadat.
  • Penerimaan
Yaitu menerima dengan segenap hati terhadap segala hal yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulullah saw, tanpa ada pembangkangan sedikitpun. Dan sebagai konsekuensinya akan berbentuk sebagai ketakwaan kepada Allah swt. Menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai satu-satunya hukum dan pedoman hidup.
  • Ketundukan
Yang dimaksud dengan ketundukan di sini adalah tunduk dan berserah diri hanya kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Dengan kata lain, setiap manusia yang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat wajib baginya untuk mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya tanpa terkecuali. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan yaitu bahwa penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan fisik. Dengan demikian, maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk senantiasa mengamalkan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasulullah saw dalam segala aspek kehidupan.

URGENSI SYAHADAT
  • Pintu gerbang masuk Islam
Pada dasarnya, Syahadat adalah pintu gerbang untuk memasuki islam. Artinya adalah dengan mengucapkan Syahadat saja seseorang sudah dikategorikan sebagai seseorang muslim. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa seseorang yang belum mengucapkan Syahadat, belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim, sebaik apapun perangai orang tersebut. Semua ini, karena pada dasarnya Syahadat merupakan satu bentuk sekat kuat yang akan memisahkan seseorang dengan kekafiran dan menuju kepada keimanan, sebagaimana makna dari Syahadat itu sendiri yang merupakan bentuk pengkuan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk membimbing umat manusia.
  • Inti ajaran Islam
Konsep ajaran Syahadat Yaitu merealisasikan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah, baik ibadah yang dilakukan secara personal maupun berjamaah. Mengajarkan agar segala sesuatu yang dilakukan adalah diniatkan untuk beribadah kepada Allah swt.
Kemudian, konsep yang kedua adalah mewajibkan umat islam untuk melakukan segala bentuk ibadah dengan tata cara yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
  • Dasar perubahan total pribadi dan masyarakat
Syahadat merupakan titik tolak perubahan seseorang maupun masyarakat secara menyeluruh, yang bermuara dari dalam hati yang telah tersentuh dan terikat dalam makna Syahadat.
Seseorang yang telah bersyahadat, akan senantiasa memperjuangkan perubahan dalam dirinya untuk tetap berkomitmen kepada makna Syahadat tersebut untuk menuju kehidupan yang Robbani.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. 13 : 11)
  • Diajarkan tauhid
Hal ini sebagaimana tertuang dalam arti dari Syahadat itu sendiri, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”. Maknanya adalah satu bentuk pengakuan secara tegas terhadap ke-esa-an Allah dan Rasulullah yang merupakan utusan Allah yang diturunkan untuk membimbing umat manusia untuk menuju jalan yang lurus, yaitu islam yang mengajarkan ketauhidan.
  • Hakikat dakwah Rasul
Karena, pada dasarnya dakwah Rasulullah saw adalah untuk mengarahkan  manusia kepada mentauhidkan Allah swt melalui segala bentuk ibadah jasmani dan rohani yang direalisasikan sesuai dengan metode Rasulullah saw.
  • Keutamaan yang besar
“Dari Ubadah bin al-Shamit, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah akan mengharamkam neraka baginya”. (HR. Muslim)
YANG MEMBATALKAN SYAHADAT
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan Syahadat seseorang yang telah diikrarkan kepada Allah swt. Inilah yang harus kita hindari sebaik mungkin agar kita tetap berada dalam naungan Syahadat, dalam naungan Allah dan Rasulullah saw. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat membatalkan Syahadat seseorang kepada Allah:
  • Bekerja untuk selain Allah
  • Memberikan kepada selain Allah (melakukan sesuatu dan meninggalkan sesuatu bukan karena Allah)
  • Memberikan ketaatan kepada selain Allah
  • Berhukum kepada selain Allah
  • Benci dan lari meninggalkan keyakinan terhadap keesaan Allah
  • Tidak mengenal Allah dengan cara yang benar, tidak bersumber pada AlQu’an dan sunnah
  • Mengimani sebagian ajaran islam dan mengkufuri sebagian yang lain
  • Berjampi/meru’yah tidak sesuai dengan AlQur’an dan sunnah
  • Berhubungan dengan jin (secara langsung)
  • Meminta tolong kepada yang berhubungan dengan jin
  • Meramal nasib
  • Menghadiri majelis dukun dan paranormal
  • Meminta berkah kepada kuburan
  • Meminta tolong kepada orang yang telah meninggal
  • Bersumpah kepada selain Allah
  • Merasa sial karena melihat/mendengar sesuatu
Syahadat merupakan hal yang penting dan utama bagi seorang manusia, khususnya umat muslim. Karena dengan Syahadat inilah, orientasi hidup seseorang akan berubah menjadi jauh lebih baik. Pemahaman dan pelaksaan tuntutan Syahadat akan merubah segala bentuk tujuan seseorang yang bersifat duniawi menjadi ukhrowi, atau lebih mengarah kepada tujuan akhirat. Kitapun tentunya telah mengetahui sejarah dakwah Rasulullah saw, yang dengan kalimat Syahadat ini beliau telah berhasil merubah kehidupan jahiliyah mayarakat Arab menjadi kehidupan yang islami.
Merujuk pada makna, kandungan, urgensi, dan hal-hal yang membatalkan Syahadat di atas, maka seyogyanya seorang muslim untuk berkomitmen kepada Syahadat yang telah diikrarkannya. Salah satu ciri seseorang yang telah benar-benar berkomitmen kepada Syahadat adalah adanya perubahan mendasar di dalam jiwanya, yang juga tercermin dalam lahiriahnya. Karena, pada dasarnya Syahadat adalah akar yang palling dasar dari kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang terdapat di dalam lubuk hati terdalam. Oleh karena itu, ketika Syahadat telah diikrarkan dan hidup dalam hati seseorang, maka mau tidak mau hatinya pun akan berubah. Dan ketika hati telah berubah untuk cenderung kepada Syahadat, maka seluruh gerak-gerik hati, tingkah laku seluruh anggota tubuh, pola pikir, sifat jasmani dan rohani, semua itu akan mengalami perubahan pula. Seluruh aktivitas jasmani maupun rohani akan lebih mengarah dan berpedoman kepada Syahadat, yaitu hukum Allah dan Rasulullah saw.
Syahadat merupakan bentuk pembebasan diri seseorang dari segala kemaksiatan dan pembangkangan kepada hukum Allah dan Rasulullah saw. Itulah sebabnya mengapa seorang muslim seharusnya menjadi seorang manusia yang tidak lagi melakukan pelanggaran dan pembangkangan kepada Allah dan Rulullah saw. Tidak patut dan tidak dibenarkan bagi seseorang yang telah mengikrarkan Syahadat untuk memilah hukum dan ketetapan Allah dan Rasulullah saw. Seyogyanya seorang muslim mampu untuk berlepas diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna Syahadat dan dari segala sesuatu yang dapat membatalkan syahadat[1].



[1] http://cahyaislam.wordpress.com/category/aqidah/