Senin, 27 Februari 2012

SIAPAKAH AL HALLAJ ITU?

Pada abad ketiga Hijriyah, dunia tashawwuf pernah digemparkan oleh seorang tokoh yang bernama Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Hallaj, yang lebih dikenal dengan Al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thursalah satu desa didekat Baidah di Persia.
Neneknya Muhammad adalah seorang penyembah api dan pemeluk agama Persi sebelum ia masuk Islam. Sejak kecil Al-Halaj sudah bergaul dengan orang-orang shufi ternama. Pada waktu ia berumur enam belas tahun ia pernah berguru pada Sahl bin Abdullah At-Tustari, salah seorang tokoh shufi ternama dalam abad ketiga itu.
Ia juga pernah berhubungan dengan Junaidi Al-Baghdadi, namun tidak berapa lama, karena ia naik haji yang pertama kali ke Makkah. Di Makkah ia banyak melakukan khalwat baik dalam Masjidil Haram maupun diluarnya. Diceritakan oleh Nahrujuri, bahwa Al-Hallaj pernah berkhalwat didalam masjid Makkah, dalam keadaan duduk tidak bergerak-gerak, kecuali untuk keperluan bersuci dan thawaf, sehingga ia tidak memperdulikan serangan hujan dan panas matahari. Sebagaimana makanan ia hanya menggigit tiga kali roti kering, dengan dua teguk air minum yang dingin, seteguk sebelum dan seteguk sesudah makan. Kemudian roti kering itu diletakkan diatas kendi airnya dan dia duduk kembali dalam keadaan melakukan latihan shufi.
Sesudah setahun di Makkah, Al-Hallaj pernah pulang ke Baghdad dan menemui gurunya Junaid yang kedua kali. Pertemuan ini tidak membawa kegembiraan antara murid dan gurunya, beberapa perbedaan mengenai ittihad dan hulul antara manusia dengan Tuhan, menyebabkan kecintaan antara guru dan murid ini agak renggang. Tetapi Al-Hallaj sejak itu merupakan tokoh shufi yang luar biasa, yang disegani dan mendapat pengikut yang banyak.
Pernah dalam hidupnya ia memutuskan hubungan dengan guru-guru dan pergaulan shufi di Baghdad, lalu bertolak mengembara jauh ke Timur sampai ke Khurasan, Talikan, Ahwaz, Parsi, India (Gujarat) dan Turkistan, terutama sebagai muballigh dari golongan Qarmatiyah. Beberapa orang yang agak kurang menyenangi dia, menyulam kabar yang agak berlebih-lebihan tentang kepergiannya ke timur itu, misalnya katanya untuk mengambil sari-sari aliran dari agama Hindu guna dimasukkan kedalam ajarannya. Al-Hasib menerangkan, bahwa ayahnya pernah bertemu dengan Hussain Ibnu Manshur, yang lemah lembut kelakuannya dan cara bergaul. Tatkala ia bertanya kepada Husain Ibnu Manshur (Al-Hallaj) itu, apa keperluan datang didaerah timur, Al-Hallaj menjawab, akan mempelajari ilmu sihir dan mengajak manusia percaya kepada Tuhan. Al-Muzaiyin menerangkan semacam itu juga.
Tetapi bagaimanapun juga, sejak tahun 908 M ia kembali dari Makkah ke Baghdad, Al-Hallaj sudah masyhur sebagai tokoh shufi dan ulama terbesar, dengan pengikutnya yang semakin hari semakin banyak. Tidak saja ucapan-ucapannya sangat diperhatikan orang, tetapi dua kali ia pernah ditahan polisi kerajaan Abasiyah, dan atas perintah Perdana Menteri Ibnu Isa tahun 913, Al-Hallaj pernah dipenjara selama delapan tahun.
Diantara masalah-masalahnya yang sangat menggemparkan itu ialah mengenai suatu pokok pembicaraan yang memang sukar dan pelik dalam dunia tashawwuf Islam ketika itu. Al-Hallaj membenarkan bahwa manusia yang sudah bersih, roh nathiqoh, sungguh-sungguh dapat bersatu dengan roh tuhan, ainul jama’, sesudah berlakunya hulul lahut fi nasut, begitu juga ia menetapkan seorang wali dapat bersatu dengan tuhan, sehingga wali itulah Tuhan, dan Tuhan itulah wali, huwa-huwa, yaitu tatkala orang shufi itu fana’ dan mengucapkan : “Ana Al-Haq”. “Sayalah Haq yang menciptakan itu”. (Thawasin).
Dengan adanya pendirian ini maka pecahlah orang-orang shufi itu atas dua golongan, perpecahan baru dalam pandangan Tashawwuf, yang dinamakan golongan ahli Sunnah dan golongan Ahli Bid’ah, Syu’batus Sunniyin dan Syu’batul Mubtadi’in atau dinamakan juga golongan waspada dan golongan bebas, Syu’batul Muhafidzin dan Syu’’batul Ahrar.
Aliran faham sunni, sebagaimana yang dianut oleh golongan Al-Asy’ari itu, merupakan aliran yang berkuasa ketika itu. Golongan ini menentang faham-faham yang terdapat dalam ajaran Al-Hallaj. Tidak saja mengenai Ittihad, mengenai teori Nur Muhammad, yang melahirkan segala yang maujud dan Nabi-nabi dari dahulu kala dan menyambung pada jiwa Ali bin Abi Thalib, yang menurut pendapat mereka dapat membawa kepada kufur dan syirik, pandangannya kepada semua agama, yang dikatakan Al-Hallaj pada hakikatnya hanya satu juga dalam kebenaran Tuhan, masalah Al-Hallaj menghilangkan wajib haji dianggap persoalan-persoalan yang dapat merusakkan agama Islam, tetapi juga banyak tuduhan-tuduhan mengenai iman dan Islam sebagaimana yang diajarkan Al-Hallaj kepada murid-muridnya, membuat pemerintah mengambil tindakan keras terhadap Al-Hallaj. Musuh-musuhnya menambah keterangan-keterangan yang memberatkan dia, sehingga pada akhirnya ia dianggap sesat dan sesudah bertahun-tahun dipenjarakan, dalam tahun 922 M dihukum mati.
Sebelum dipancung ia disula diperlihatkan pada umum. Pada waktu hendak dipancung ditempat penyulaannya, kelihatan benar imannya yang kokoh terhadap Tuhan, kelihatan benar keyakinannya yang membatu terhadap ajarannya. Tatkala pedang diletakkan kemukanya dan darah mengalir, seorang muridnya ditengah-tengah orang banyak berteriak mengatakan mukanya berdarah, tetapi ia menjawab, itu bukan darah tapi air wudhu, tangan dan kaki kanannya dipotong, ia tenang dan shabar, tidak mengeluh dan mengadu sepatah katapun. Sampai keempat-empat anggota badannya diceraikan, tak ada sepatah kata kesakitan pun keluar dari mulutnya. Kemudian barulah kepala ditundukkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan, yang pada akhirnya dipisahkan dari badannya oleh Algojo kerajaan yang menjalankan hukuman mati atas dirinya!
Badannya dibakar dan abunya dilemparkan kedalam sungai Dajlah. Hilang Al-Hallaj dari Baghdad dan lenyap jasadnya dari muka bumi! Tetapi apakah Al-Hallaj karena itu sudah mati! Tidak! Ia hidup, ia mulai hidup, karena itu baginya permulaan hidup!
Ketenangan dalam penyiksaan itu menjadi bukti keyakinannya yang menakjubkan lawan dan kawannya. Penyiksaan yang demikian dari satu pihak menimbulkan penyesalan, dari lain pihak mengeluarkan cinta dan kasih sayang, dan cinta dan kasih sayang itu membuat murid-muridnya lebih giat dan luas menyiarkan paham-paham Al-Hallaj itu, sehingga di kemudian hari masuklah paham-paham itu kedalam kitab-kitab shufi.
Maka tersiarlah kabar, bahwa Al-Hallaj adalah seorang suci, seorang keramat dan wali. Bermacam-macam dongeng dijalin orang dengan sejarah kematiannya. Ada yang mengatakan, darahnya itu mengalir membentuk kalimat Allah. Dalam Tarikh Baghdad, jilid VIII, hal 136, masih tercatat, bahwa pada sepotong kayu yang terdapat padanya tertulis lafadh Allah dan didalam kayu itu termaktub nama Ali Alaihis Salam.
Cerita yang mengerikan itu berjalan dari masa kemasa, dari daerah ke daerah, dari mulut ke mulut, dan menjadi buah mimpi mereka yang menganut paham Wihdatul Wujud dan mengaku dirinya wali. Cerita Syekh Lemah Abang di Jawa dan Hamzah Fansuri atau Teungku Trubu’ied di Aceh, yang juga sesudah dibunuh karena tuduhan salah I’tikadnya, darahnya berdzikir atau menulisi kalimat syahadat, tidak lain daripada gemah cerita Al-Hallaj yang sudah mati itu.
Menurut Suhrawardi, Al-Hallaj sudah menggambarkan pembunuhan atas dirinya semasa hidupnya. Dalam hubungan ajarannya, mengenai reinkarnasi, hidup kedua kali di dunia, yang dijadikan orang bukti Al-Hallaj memasukkan ajaran itu dari agama Hindu, ahli Hulul terbesar itu pernah bersyair sebagai berikut :
“Bunuhlah daku, o kebenaranku,
Dalam matiku disitulah hidupku,
Matiku berada dalam hidupku,
Hidupku terdapat dalam matiku!
Pada kesempatan yang lain ia bersya’ir :
“Biarkan badan hancur binasa,
Asal cahaya menerangi angkasa,
Jiwa yang sempurna jiwa perkasa,
Kepada Tuhan kembali rasa.
Ia kembali kepada yang punya,
Disitulah ia kekal adanya,
Kerangka jasad biarkan di dunia,
Usah dihiraukan, tak usah ditanya!
Kematian Al-Hallaj membuat tokoh shufi yang lain jadi takut menyatakan secara terang-terangan ajarannya, mengenaiWihdatul Wujud, mengenai Ittihad, mengenai cinta Tuhan melalui hulul, dengan mas’alah ucapan “Ana Al-Haq’-Akulah kebenaran!”. Lalu majulah kemuka umum Junaid dan Usman Al-Makky dengan kupasannya seolah-olah menentang Al-Hallaj. Menurut Ahmad bin Yunus, Junaid pernah mengejek Al-Hallaj dalam satu pertemuan terhormat dari ulama’-ulama’ shufi, dan menuduhnya memakai ilmu sihir, yang dipelajarinya tatkala ia pergi kedaerah timur. Tetapi menurut Ibnu Khafif ejekannya itu bahkan menimbulkan jijik beberapa orang besar shufi terhadap Junaid.
Memang sesudah penyulaan, banyak yang menampik paham Al-Hallaj, tetapi banyak pula yang menerimanya dan menyiarkannya kedalam bentuk lain, diantaranya Abul Abbas bin Atha’ Al-Baghdadi, Muhammad bin khafif Asy-Syirazi, Ibrahim bin Muhammad An-Nasarbazi An-Nisaburi, semuanya membenarkannya. Ibnu Khofif menyimpulkan pendapat-pendapat mereka didalam sebuah kalimat : “Hasan bin Manshur (Al-Hallaj) adalah seorang alim Robbani, dan orang yang melenyapkan namanya dalam ilmu shufi, menuduh Al-Hallaj meringankan agamanya, dan menuduh Al-Hallaj zindiq dalam I’tiqatnya” (Tarikh Baghdad)
Diantara tokoh-tokoh shufi terbesar termasuk Al-Hallaj, yang selalu didengar pendapatnya dalam masalah-masalah yang pelik dalam ilmu tashawwuf dan Islam. Al-Wasithi bertanya kepada Ibnu Suraij : “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Hallaj?” Jawabnya : “Ia seorang alim yang hafal Al-Quran, seorang alim tentang ilmu Al-Quran, seorang yang mahir dalam ilmu Fiqh, ahli hadits, sejarah agama dan sunnah nabi” (Akhbar Hallaj). Dalam kitab “Syazrotuz Zahab” diterangkan, bahwa ia ahli kimia dan ilmu tabib. Qusyairi memuji-muji Al-Hallaj dalam risalahnya sebagai seorang shufi terbesar. Puji-pujian itu diikuti oleh yang lain, diantaranya Imam Al-Ghazali. Dr. Zaki Mubarak membela Al-Hallaj dalam kitabnya “At-Tasawwuf Al-Islami” (Mesir, 1938) dan mempersamakannya dengan Isa Al-Masih dalam ta’ayinya zat dan sifat Allah. Dalam kitabnya yang lain menyerang Ghazali dengan Ihyanya, memuji Al-Hallaj dengan katanya : “Kisah Al-Hallaj dengan Tuhannya adalah sebuah kisah yang jarang terdapat contoh teladannya, karena ia mengandung peperangan antara hati dan ketakutan, antara mata dan air mata yang berlinang-linang. Orang dapat mempelajari dalam kitab itu, apa yang sukar dipahami, yaitu bahwa cinta tidak mengenal main-main dan olok-olok. Jikalau penyulaan Al-Hallaj itu terjadi dalam sejarah ribuan tahun, maka kita akan menamakannya suatu dongeng, sebagaimana sebagian orang mengatakan salib Isa itu suatu diantara dongeng pula dalam sejarah dunia. Tetapi penyulaan Al-Hallaj baru terjadi dan khabar beritanya mutawatir, makamnya berdiri di Baghdad dengan megahnya, dikunjungi, diziarahi orang. Akupun menziarahinya dan melihat dengan mata kepala sendiri kubur itu dikunjungi orang, sebagaimana mengunjungi kuburan-kuburan orang lain yang dicintai. Alangkah sukarnya kedudukan orang-orang yang dicintai itu, baik pada waktu hidupnya maupun pada waktu sesudah matinya”. (Hal 218)
Pengarang-pengarang baik ditimur maupun dibarat mencari bahan-bahan pikiran yang ketinggalan dari Al-Hallaj diantara butir-butir darah dan debu pembakaran mayatnya, tetapi tokoh Hulul terbesar ini tidak didapatinya, ia sudah lenyap dalam Wihdatul Wujud, ia sudah fana kedalam baqa’ Tuhannya! (Sumber "Tashawwuf dan jalan hidup para wali" Karya Ust. Labib MZ dan Drs. Moh Al-'Aziz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar